Jumat, 29 Agustus 2014

Hidup Bahagia Sesuai Dhamma

        Hidup Bahagia Sesuai Dhamma       
                          
Dhammaṁ care sucaritaṁ
Na taṁ duccaritaṁ care
Dhammacārī sukhaṁ seti
Asmiṁ loke paramhi ca.

“Hiduplah sesuai dengan Dhamma, tidak mengikuti cara hidup yang salah. Seseorang yang mengikuti Ajaran Dhamma secara benar akan hidup berbahagia dalam kehidupan ini dan kehidupan yang akan datang.” (Dhammapada, Loka Vagga, Syair 169)

Setiap orang pasti mendambakan kebahagiaan karena kebahagiaan adalah hak dan tujuan hidup setiap orang. Meskipun gagasan, penilaian dan pencapaian kebahagiaan itu berbeda bagi setiap orang, baik  dia anak kecil, remaja, orang dewasa sampai tua sekalipun. Misalnya, anak kecil bahagia ketika memperoleh mainan yang baru; seorang remaja bahagia jika mempunyai seorang kekasih, sukses dalam mendapat prestasi di sekolahnya dan memiliki banyak teman. Orang dewasa merasa bahagia jika ia berhasil dalam kariernya, apakah sebagai petani, pedagang, guru, dokter maupun pengusaha; dan orang tua akan merasa bahagia jika melihat anak dan cucunya sukses dan bahagia. Oleh karena itu, akan ada banyak hal yang dilakukan oleh seseorang untuk meraih  kebahagiaan tersebut dan tentunya akan berbeda pula jalan yang dilakukan.

Secara umum, kebahagiaan sering diartikan sebagai tercapainya apa yang diinginkan atau yang dicita-citakan. Kebahagiaan juga sering diartikan sebagai terpenuhinya kebutuhan materi seperti sandang, pangan, papan dan obat-obatan, serta terpenuhinya kebutuhan akan pendidikan dan hiburan. Namun, kebahagiaan yang sesungguhnya tidak hanya terbatas dalam hal tercapainya kebutuhan materi saja, melainkan perlunya untuk mengembangkan kebutuhan batin dengan kekayaan mental karena dalam meraih kebahagiaan tersebut tidak terlepas dari kesulitan-kesulitan dan rintangan-rintangan. Maka perlu adanya kesabaran dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dan melatih diri untuk tidak melekat pada apa yang diinginkan.

Dalam Saṃyutta Nikāya V. 51, yaitu Iddhipādasaṃyutta dijelaskan bahwa ada empat landasan kekuatan batin (Iddhipāda) yang dapat digunakan untuk mencapai kekuatan spiritual. Empat landasan kekuatan batin tersebut terdiri dari chanda (keinginan/kemauan), virya (usaha, semangat), citta (pikiran), vimaṃsā (penyelidikan). Jika keempat hal tersebut dilakukan dengan sempurna maka akan membawa seseorang pada tujuan akhir yang berada dalam kemampuannya.

1.      Chanda

Chanda (keinginan) yang dimaksud bukanlah keinginan seperti lobha yang melibatkan keserakahan. Namun, chanda merupakan keinginan untuk berbuat atau keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang terjadi pada makhluk hidup pada umumnya. Keinginan untuk bepergian, untuk makan, untuk mengetahui, untuk  mengerti, semua itu termasuk chanda (Janakābhivaṃsa, 2005:139). Keinginan untuk berbuat baik seperti, keinginan untuk berdana, menjalan sila dan meditasi juga merupakan Chanda.
Chanda juga diartikan sebagai kegembiraan dan kepuasan di dalam mengerjakan hal-hal yang sedang dikerjakan. Chanda merupakan kondisi awal yang perlu dimunculkan dalam upaya meraih kebahagiaan baik kebahagiaan lahir maupun batin. Misalnya, seorang pelajar yang ingin meraih prestasi. Ia tentunya terlebih dahulu memunculkan keinginannya untuk belajar. Ia juga harus gembira dan merasa puas ketika belajar. Hal tersebut dapat membangkitkan semangat dan konsentrasi dan merupakan kunci keberhasilan yang pertama. Selain itu, dengan adanya kegembiraan dan kepuasan seseorang tidak akan merasa kecewa, walaupun apa yang diperoleh tidak sesuai dengan harapan karena ia sudah berbuat semaksimal mungkin. Namun, kecenderungan dari seseorang adalah merasa gembira dan puas kalau sudah berhasil. Hal tersebut yang mengakibatkan munculnya kekecewaan atau penderitaan.

2.      Viriya

Setelah adanya keinginan untuk mengerjakan sesuatu tentunya juga seseorang harus    berusaha dengan penuh semangat untuk merealisasikan tujuannya. Seseorang yang bersemangat tentunya akan memperoleh kesuksesan dan kesejahteraan baik yang bersifat duniawi maupun kesuksesan spiritual. Dalam hal kesuksesan spiritual contoh yang paling baik adalah guru agung kita Buddha Gotama. Beliau berjuang dengan penuh semangat sejak menjadi calon Buddha (bodhisatta) sampai Beliau wafat (parinibbāna). Setelah menjadi Buddha, viriya/semangat Beliau tidak pernah padam, Beliau mengajar selama 45 tahun dengan hanya melewatkan waktu untuk tidur selama 1-2 jam perharinya. Beliau pernah bersabda: “Vāyamethewa puriso; na nibbindeyya paṇḍito.” (Manusia sejati harus selalu tekun; manusia bijaksana tidak pernah malas) (Janakābhivaṃsa, 2005:136).

Orang bijaksana memuji ketekunan
Dalam melakukan perbuatan-perbuatan yang bermanfaat;
Karena orang yang bijaksana dan tekun
Akan memperoleh manfaat ganda:
Kesejahteraan di sini dan kini
Serta kesejahteraan dalam kehidupan yang akan datang.
Dan karena telah mewujudkan kebajikan,
Orang bijaksana itu disebut guru.
(Itivuttaka I, 23)

            Ada empat usaha atau daya upaya yang harus dilakukan dengan penuh semangat dan ketekunan untuk memperoleh kebahagiaan. 1) Usaha untuk menghindari hal-hal yang buruk yang belum muncul. 2) Melenyapkan hal-hal buruk yang sudah muncul. 3) Usaha untuk memunculkan hal-hal baik yang belum muncul. 4) Mengembangkan hal-hal baik yang sudah muncul.

3.      Citta

Citta berarti pikiran yang memperhatikan dengan sepenuh hati terhadap hal-hal yang sedang dikerjakan tanpa membiarkannya pergi begitu saja. Citta dapat diartikan pula sebagai pikiran yang penuh dengan kewaspadaan. Mengembangkan kewaspadaan akan membuat kita jauh dari kelengahan dan kecerobohan dan sesuatu yang diperjuangkan akan dapat direalisasikan. Citta juga perlu diimbangi dengan viriya atau semangat dan sebaliknya karena untuk mempercepat dan memaksimalkan hasil yang diharapkan. Sebagai contoh adalah siswa Sang Buddha, yakni Y.M. Moggalana dan Y.M. Ananda. Y.M. Moggalana ketika bermeditasi memiliki citta yang terlalu kuat sedangkan Viriya-Nya lemah sehingga menyebabkan Beliau mengantuk. Namun, setelah mendapat arahan dari Sang Buddha, Beliau mencapai arahat. Sebaliknya, Y.M. Ananda terlalu bersemangat dan bermeditasi seharian tanpa beristirahat. Selain itu, Beliau memikirkan tentang akan diadakannya konsili pertama dan Beliau harus mencapai Arahat. Kegelisahannya itu mengakibatkan konsentrasi-Nya melemah dan Beliau memutuskan untuk beristirahat sambil berlatih kembali dengan penuh perhatian. Ketika itu pula sebelum kepala menyentuh bantal dan kakinya belum meninggalkan lantai, Beliau mencapai Arahat. Beliau pun dapat menghadiri konsili tersebut dan mengulang Dhamma.

4.      Vimaṃsa

Kondisi yang terakhir dari Iddhipāda adalah vimaṃsā atau penyelidikan yakni merenungkan dan menyelidiki alasan-alasan di dalam hal-hal yang sedang dikerjakan. Vimaṃsā dapat diartikan pula sebagai evaluasi dari apa yang sudah dilakukan, apakah baik atau buruk. Seseorang yang melakukan evaluasi akan menemukan alasan-alasan atau faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan dan keberhasilan. Kegiatan dari evaluasi ini dapat kita ibaratkan, seperti seorang guru yang mengevaluasi murid-muridnya melalui ulangan. Dari hasil ulangan tersebut dapat dilihat bahwa guru tersebut apakah berhasil atau gagal dalam proses pembelajaran. Faktor keberhasilan dan kegagalan apakah berasal dari gurunya yang mungkin dari metode pembelajarannya atau muridnya yang rajin atau yang kurang memperhatikan. Oleh karena itu, seorang guru yang mampu melakukan penyelidikan, tentunya akan menemukan faktor-faktor yang menyebabkan keberhasilan atau kegagalan. Maka ia akan mengembangkan faktor-faktor yang baik dan meninggalkan yang buruk.

Kesimpulan

Jadi, dapat disimpulkan bahwa seseorang  menginginkan kesejahteraan dan kebahagiaan baik sekarang maupun yang akan datang, harus dengan cara yang benar sesuai Dhamma: dengan memunculkan keinginan yang baik (chanda),  mengembangkan usaha yang disertai semangat untuk meninggalkan hal-hal yang bersifat negatif dan mengembangkan hal-hal yang positif baik melalui tindakan, ucapan maupun pikiran. Kondisi yang juga perlu dikembangkan adalah citta (perhatian) terhadap apa yang dilakukan serta kita perlu melakukan penyelidikan dan evaluasi (vimaṃsā) sehingga kita dapat mengetahui apa yang perlu dikurangi dan kita tinggalkan dan apa yang perlu dilakukan dan kita kembangkan dan hal ini tentunya akan menambah kebijaksanaan kita sehingga hidup kita sukses dan bahagia secara lahir maupun batin.

Referensi

Bodhi. Saṁyutta Nikāya. Jakarta Barat: DhammaCitta Press. 2010.
Janakābhivaṁsa, Ashin. Abhidhamma in Daily Life. Terj. Ashin Jinorasa. Tanpa kota: Yayasan Penerbit Karaniya. 2005.
Jotidhammo (Ed). Itivuttaka. Bandung: Lembaga Anagarini Indonesia. 1998.
Paññāvaro, Sri. Bahagia dalam Dhamma 3. Makassar: Keluarga Buddhis Brahmavihāra (KBBV) Makassar. 2007.
Vajirananavarosasa, Prince. Dhamma Vibhāga. Yogyakarta: Vidyasena Vihara Vidyaloka. 2002.
Yayasan Dhammadīpa Āramā. Dhammapada. Jakarta. 2005.
                                                                                               

Artikel Dhamma:
Bahagia Tanpa Keserakahan

Bahagia Tanpa Keserakahan

Bahagia Tanpa Keserakahan

Susukhaṁ vata jīvāma
Ussukesu anussukā
Ussukesu manussesu
Viharāma anussukā.

Sungguh bahagia kita hidup terbebas dari keserakahan,
di antara orang-orang yang serakah.
Di antara manusia yang serakah
kita hidup tanpa keserakahan.
(Dhammapada, Sukha Vagga, syair 199)

Setiap orang pasti membutuhkan pakaian, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan agar dapat bertahan hidup sehingga dapat menjalankan aktivitas dengan baik. Seseorang harus makan makanan yang sesuai untuk menjaga kondisi tubuhnya agar tetap sehat, memakai pakaian yang sesuai untuk menahan dingin dan panas yang berlebihan, mendirikan rumah untuk melindungi diri dari angin, hujan dan cuaca yang buruk, dan meminum obat yang sesuai ketika sakit. Selain itu, sebagai manusia biasa pasti memiliki keinginan untuk memiliki sesuatu, seperti kekayaan, kedudukan dan sebagainya. Ini merupakan keinginan yang wajar. Namun, kebanyakan orang tidak menyadari bahwa di dalam dirinya masih diliputi oleh kekotoran-kekotoran batin, salah satunya adalah keserakahan. Kekotoran batin inilah yang merupakan keinginan yang tidak wajar karena seseorang dapat melakukan tindakan buruk untuk mencapai keinginannya sehingga dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.

Secara umum, keserakahan sering disebut sebagai ketamakan atau memiliki keinginan yang berlebihan dan tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki. Dalam agama Buddha, keserakahan dikenal dengan istilah lobha yang secara psychology berarti terikatnya pikiran oleh objek-objek. Objek-objek yang dimaksud adalah objek-objek yang menyenangkan karena adanya kontak dari mata, telinga, hidung, lidah, badan dan pikiran. Seseorang yang memiliki keserakahan (lobha) terhadap kesenangan-kesenangan indra, harta, kedudukan dan sebagainya. Misalnya, seseorang yang sudah memiliki kekayaan, namun masih mempunyai keinginan untuk merebut harta orang lain karena tidak adanya kepuasan pada kepemilikan diri sendiri. Ia akan melakukan apapun untuk mencapai keinginannya termasuk melakukan tindakan yang tidak baik seperti mencuri, merampok dan korupsi yang merupakan peristiwa yang sering kita lihat dan kita dengar melalui media massa. Ketika keinginan tidak tercapai bagi orang yang memiliki keserakahan dan kemelekatan maka yang akan timbul adalah kesedihan dan kekecewaan. Namun, jika keinginannya tercapai, ia akan dirundung kekhawatiran akan kehilangan. Berbeda halnya dengan keinginan atau kemauan yang baik dan tulus seperti keinginan untuk berdana, belajar Dhamma, menjalankan sila dan meditasi merupakan faktor mental yang baik yang dilakukan demi kebaikan itu sendiri.  Kebaikan-kebaikan yang akan membawa pada kebahagiaan sejati.

Memang kita ketahui bahwa, keserakahan adalah kekotoran batin yang sulit dilenyapkan secara total. Namun, bagi seseorang yang belum mencapai kesucian dapat menekan kemunculannya atau mencegahnya untuk berkembang jika keserakahan (lobha) itu sudah muncul. Maka, yang perlu dilakukan adalah menggunakan sati (perhatian, kewaspadaan, kesadaran), berusaha untuk tidak selalu menuruti keinginan, merenungkan untung dan rugi dengan menggunakan pañña (kebijaksanaan), membangkitkan hiri (malu berbuat jahat) dan ottapa (takut akan akibat dari perbuatan jahat), mengembangkan Dhamma yang berlawanan dengan lobha, seperti berdana (AjitamanavasaSolasa panha).

1.      Menggunakan sati

Lobha atau keserakahan tidak akan muncul jika tidak adanya kondisi yang sesuai dan pada seseorang yang memiliki sati (perhatian yang murni, kewaspadaan, kesadaran). Oleh karena itu, seseorang hendaknya memilki perhatian, kewaspadaan, kesadaran terhadap apa yang dilihat, didengar, dicium (bau), dikecap, disentuh dan yang dipikirkan. Sati yang dimaksud di sini juga merupakan perhatian yang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat positif, seperti mendengarkan Dhamma dengan penuh perhatian agar bisa mengingatnya dan pada saat bermeditasi seseorang  berkosentrasi secara mendalam supaya tidak kehilangan objek meditasinya. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah munculnya tindakan buruk sebagai akibat dari pikiran yang tidak baik, salah satunya adalah pikiran yang disertai dengan keserakahan.

2.      Berusaha untuk tidak selalu menuruti keinginan

Berusaha untuk tidak selalu menuruti keinginan adalah berusaha untuk merasa puas (santuṭṭhī) dengan apa yang dimiliki, hidup sederhana dan berkecukupan tanpa harus memiliki banyak keinginan. Keinginan yang selalu dituruti sebagai sifat dari keserakahan adalah ibarat kita haus dan meminum air garam, maka rasa haus itu tidak akan pernah hilang. Kita dapat merasakan kepuasan dan kebahagiaan dengan membatasi keinginan-keinginan kita. Perasaan puas dan bahagia ini akan mengkondisikan pikiran menjadi damai dan tenang. Namun, bila kita serakah dan selalu ingin lebih akan mengakibatkan pikiran menjadi kacau dan tidak sehat. Tidak lagi mengenal kedamaian. Oleh karena itu, Sang Buddha mengajarkan kepada para bhikkhu untuk menjalankan kehidupan dengan disiplin dari yang mereka dapatkan sebagai dana.

3.      Merenungkan untung dan rugi dengan menggunakan pañña

Sebagai manusia biasa kita tentunya masih mempunyai keinginan. Namun, kita dapat mengoreksi keinginan tersebut. Apakah merupakan keinginan yang wajar, bermanfaat dan cara yang akan digunakan untuk mencapai keinginan itu adalah cara yang baik sehingga tidak merugikan baik diri sendiri maupun orang lain  ataukah sebaliknya. Keinginan menjadi kaya misalnya, di mana Sang Buddha menyatakan keinginan tersebut sebagai salah satu keinginan yang wajar dari manusia, yakni dalam Aṅguttara Nikāya II 65. Maka, bagi orang yang bijaksana akan mengetahui apa yang baik dilakukan dan apa yang tidak baik untuk dilakukan. Ia akan melakukan usaha yang benar, bermata pencaharian yang benar untuk mencapai keinginannya. Namun sebaliknya, bagi orang yang tidak memiliki kebijaksanaan dalam mencapai sesuatu. Ia hanya akan membahayakan dirinya sendiri dan orang lain, seperti syair Dhammapada berikut: Kekayaan dapat menghancurkan orang bodoh, tetapi tidak dapat menggoda ia yang ingin mencapai pantai seberang (Nibbana). Keserakahan pada kekayaan dapat menghancurkan diri sendiri dan orang lain (Taṇhā Vagga, 355).

4.      Membangkitkan hiri  dan ottapa

Hal lain yang juga dapat menekan kemunculan lobha adalah membangkitkan hiri dan ottapa yang sering kita kenal dengan pelindung dunia. Seseorang yang memiliki perasaan malu untuk melakukan perbuatan buruk, maka ia akan menjalankan sīla dengan baik dengan menghindari tindakan-tindakan buruk, seperti mempraktikkan Pancasīla Buddhis. Seseorang yang memiliki hirī adalah orang yang menghargai martabat dan kehormatannya. Perasaan takut akan akibat dari perbuatan buruk merupakan wujud dari keyakinan akan hukum kamma bahwa segala bentuk tindakan baik melalui pikiran, ucapan maupun perbuatan yang didasari oleh pikiran yang tidak baik akan mangakibatkan penderitaan. Demikian pula dengan segala bentuk tindakan, baik melalui pikiran, ucapan maupun perbuatan yang didasari oleh keserakahan akan membawa pada penderitaan baik pada saat sekarang maupun yang akan datang. Misalnya, seseorang yang melakukan tindakan buruk karena keserakahannya, sebagai akibatnya, ia tidak akan dihormati orang, ia bisa masuk penjara dan bahkan pada kehidupan selanjutnya ia akan terlahir di alam rendah.

5.      Mengembangkan Dhamma yang berlawanan dengan lobha

Praktik kebajikan seperti berdana merupakan lawan dari lobha yang dapat menekan kemunculan dan berkembangnya lobha tersebut. Membiasakan diri untuk berdana merupakan latihan untuk melepas apa yang kita miliki, untuk mengurangi kemelekatan yang membelenggu batin, untuk meringankan penderitaan orang lain. Berdana juga akan lebih bermanfaat jika ditujukan kepada orang yang tepat, orang yang membutuhkan dan diberikan pada waktu yang tepat, serta diberikan dengan ketulusan dan rasa hormat. Berdana dapat dilakukan dalam bentuk materi, tenaga, nasihat-nasihat, motivasi, pengetahuan, ide-ide atau gagasan-gagasan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi keegoan kita dan mengembangkan kepedulian kita terhadap orang lain serta untuk mengikis sifat keserakahan.

Kesimpulan

Keserakahan merupakan kekotoran batin yang menjadi sumber penderitaan. Keserakahan (lobha) merupakan kemelekatan yang sangat terhadap sesuatu sehingga membuat pikiran selalu merasa lapar, serakah dan tidak puas dengan apa yang telah dimiliki. Keserakahan muncul ketika bertemu dengan kondisi yang sesuai, yakni adanya kontak antara indra-indra dengan objek-objek yang menyenangkan. Keserakahan sulit dilenyapkan, namun dapat kita tekan kemunculannya dan perkembangannya serta kita dapat mengikisnya dengan satisantuṭṭhīpaññahiri dan ottapa serta berdana. Oleh karena itu, kita hendaknya mempraktikkan Dhamma dengan baik sehingga kita dapat melenyapkan keserakahan dan kebahagiaan sejati dapat kita capai.

Referensi
“Tiga Akar Kejahatan” http://indonesiaindonesia.com/f/34585-universal-intisari-agama-buddha/(29 Juni 2013)
Janakābhivaṁsa, Ashin. Abhidhamma in Daily Life. Terj. Ashin Jinorasa. Tanpa kota: Yayasan Penerbit Karaniya. 2005.
Sarada, Weragoda. Mahā Maṅgala Sutta (Berkah Utama). Jakarta: Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. 1997.
Yayasan Dhammadīpa Āramā. Dhammapada. Jakarta. 2005.

Artikel Dhamma:
Hidup Bahagia Sesuai Dhamma

KITAB SUCI AGAMA BUDDHA

    KITAB SUCI AGAMA BUDDHA
    Kitab suci agama Buddha yang paling tua yang diketahui hingga sekarang tertulis dalam bahasa Pāli dan Sansekerta; terbagi dalam tiga kelompok besar yang dikenal sebagai 'pitaka' atau 'keranjang', yaitu :
    1. VINAYA PITAKAhttp://www.scribd.com/doc/238751761/Vinaya-Pitaka
    2. SUTTA PITAKA
    3. ABHIDHAMMA PITAKA
    Oleh karena itu Kitab Suci agama Buddha dinamakan Tipitaka (Pāli) atau Tripitaka (sansekerta).
    Di antara kedua versi Pāli dan Sansekerta itu, pada dewasa ini hanya Kitab Suci Tipitaka (Pāli) yang masih terpelihara secara lengkap, dan Tipitaka (Pāli) ini pulalah yang merupakan kitab suci bagi agama Buddha mazhab Theravāda (Pāli Canon).
    VINAYA PITAKA 
    Vinaya Pitaka berisi hal-hal yang berkenaan dengan peraturan-peraturan bagi para bhikkhu dan bhikkhuni; terdiri atas tiga bagian : 
    1. Sutta Vibhanga 
    2. Khandhaka, dan 
    3. Parivāra.
    Kitab Sutta Vibhanga berisi peraturan-peraturan bagi para bhikkhu dan bhikkhuni. Bhikkhu-vibanga berisi 227 peraturan yang mencakup delapan jenis pelanggaran, di antaranya terdapat empat pelanggaran yang menyebabkan dikeluarkannya seorang bhikkhu dari Sangha dan tidak dapat menjadi bhikkhu lagi seumur hidup. Keempat pelanggaran itu adalah : berhubungan kelamin, mencuri, membunuh atau menganjurkan orang lain bunuh diri, dan membanggakan diri secara tidak benar tentang tingkat-tingkat kesucian atau kekuatan-kekuatan batin luar biasa yang dicapai. untuk ketujuh jenis pelanggaran yang lain ditetapkan hukuman dan pembersihan yang sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang bersangkutan. Bhikkhuni-vibanga berisi peraturan-peraturan yang serupa bagi para Bhikkhuni, hanya jumlahnya lebih banyak.
    Kitab Khandhaka terbagi atas Mahāvagga dan Cullavagga. Kitab Mahâvagga berisi peraturan-peraturan dan uraian tentang upacara penahbisan bhikkhu, upacara Uposatha pada saat bulan purnama dan bulan baru di mana dibacakan Pātimokkha (peraturan disiplin bagi para bhikkhu), peraturan tentang tempat tinggal selama musim hujan (vassa), upacara pada akhir vassa (pavāranā), peraturan-peraturan mengenai jubah Kathina setiap tahun, peraturan-peraturan bagi bhikkhu yang sakit, peraturan tentang tidur, tentang bahan jubah, tata cara melaksanakan sanghakamma (upacara sangha), dan tata cara dalam hal terjadi perpecahan.
    Kitab Cullavagga berisi peraturan-peraturan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran, tata cara penerimaan kembali seorang bhikkhu ke dalam Sangha setelah melakukan pembersihan atas pelanggarannya, tata cara untuk menangani masalah-masalah yang timbul, berbagai peraturan yang mengatur cara mandi, mengenakan jubah, menggunakan tempat tinggal, peralatan, tempat bermalam dan sebagainya, mengenai perpecahan kelompok-kelompok bhikkhu, kewajiban-kewajiban guru (ācariyā) dan calon bhikkhu (sāmanera), pengucilan dari upacara pembacaan Pātimokkha, penahbisan dan bimbingan bagi bhikkhuni, kisah mengenai Pesamuan Agung Pertama di Rājagaha, dan kisah mengenai Pesamuan Agung Kedua di Vesali. Kitab Parivâra memuat ringkasan dan pengelompokan peraturan-peraturan Vinaya, yang disusun dalam bentuk tanya jawab untuk dipergunakan dalam pengajaran dan ujian.
    SUTTA PITAKA
    Sutta Pitaka terdiri atas lima 'kumpulan' (nikāya) atau buku, yaitu : 
    1. Dīgha Nikāya, 
    merupakan buku pertama dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 34 Sutta panjang, dan terbagi menjadi tiga vagga : Sīlakkhandhavagga, Mahāvagga dan Pātikavagga. Beberapa di antara sutta-sutta yang terkenal ialah : Brahmajāla Sutta (yang memuat 62 macam pandangan salah), Samannaphala Sutta (menguraikan buah kehidupan seorang petapa), Sigālovāda Sutta (memuat patokan-patokan yang penting bagi kehidupan sehari-sehari umat berumah tangga), Mahāsatipatthāna Sutta (memuat secara lengkap tuntunan untuk meditasi Pandangan Terang, Vipassanā), Mahāparinibbāna Sutta (kisah mengenai hari-hari terakhir Sang Buddha Gotama).
    2. Majjhima Nikāya, 
    merupakan buku kedua dari Sutta Pitaka yang memuat kotbah-kotbah menengah. Buku ini terdiri atas tiga bagian (pannāsa); dua pannāsa pertama terdiri atas 50 sutta dan pannāsa terakhir terdiri atas 52 sutta; seluruhnya berjumlah 152 sutta. Beberapa sutta di antaranya ialah : Ratthapāla Sutta, Vāsettha Sutta, Angulimāla Sutta, Ānāpānasati Sutta, Kāyagatasati Sutta dan sebagainya. 
    3. Samyutta Nikāya, merupakan buku keempat dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 7.762 sutta. Buku ini dibagi menjadi lima vagga utama dan 56 bagian yang disebut Samyutta.  
    4. Anguttara Nikāya, merupakan buku ketiga dari Sutta Pitaka, yang terbagi atas sebelas nipâta (bagian) dan meliputi 9.557 sutta. Sutta-sutta disusun menurut urutan bernomor, untuk memudahkan pengingatan. 
    5.    Khuddaka Nikāya, merupakan buku kelima dari Sutta Pitaka yang terdiri atas kumpulan lima belas kitab, yaitu : 
    a. Khuddakapātha, berisi empat teks : Saranattāya, Dasasikkhapāda, Dvattimsakāra, Kumārapañha, dan lima sutta : Mangala, Ratana, Tirokudda, Nidhikanda dan Metta Sutta.
    b. Dhammapada, terdiri atas 423 syair yang dibagi menjadi dua puluh enam vagga. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
    c. Udāna, merupakan kumpulan delapan puluh sutta, yang terbagi menjadi delapan vagga. Kitab ini memuat ucapan-ucapan Sang Buddha yang disabdakan pada berbagai kesempatan. 
    d. Itivuttaka, berisi 110 sutta, yang masing-masing dimulai dengan kata-kata : vuttam hetam bhagavā (demikianlah sabda Sang Bhagavā).
    e. Sutta Nipāta, terdiri atas lima vagga : Uraga, Cûla, Mahā, Atthaka dan Pārāyana Vagga. Empat vagga pertama terdiri atas 54 prosa berirama, sedang vagga kelima terdiri atas enam belas sutta.
    f. Vimānavatthu, menerangkan keagungan dari bermacam-macam alam deva, yang diperoleh melalui perbuatan-perbuatan berjasa. 
    g. Petavatthu, merupakan kumpulan cerita mengenai orang-orang yang lahir di alam Peta akibat dari perbuatan-perbuatan tidak baik.
    h. Theragāthā, kumpulan syair-syair, yang disusun oleh para Thera semasa hidup Sang Buddha. Beberapa syair berisi riwayat hidup para Thera, sedang lainnya berisi pujian yang diucapkan oleh para Thera atas Pembebasan yang telah dicapai.
    i. Therigāthā, buku yang serupa dengan Theragâthâ yang merupakan kumpulan dari ucapan para Theri semasa hidup Sang Buddha.
    j. Jātaka, berisi cerita-cerita mengenai kehidupan-kehidupan Sang Buddha yang terdahulu. 
    k. Niddesa, terbagi menjadi dua buku : Culla-Niddesa dan Mahâ-Niddesa. Culla-Niddesa berisi komentar atas Khaggavisâna Sutta yang terdapat dalam Pārāyana Vagga dari Sutta Nipāta; sedang Mahā-Niddesa menguraikan enam belas sutta yang terdapat dalam Atthaka Vagga dari Sutta Nipāta.
    l. Patisambhidāmagga, berisi uraian skolastik tentang jalan untuk mencapai pengetahuan suci. Buku ini terdiri atas tiga vagga : Mahāvagga, Yuganaddhavagga dan Paññāvagga, tiap-tiap vagga berisi sepuluh topik (kathā).
    m. Apadāna, berisi riwayat hidup dari 547 bhikkhu, dan riwayat hidup dari 40 bhikkhuni, yang semuanya hidup pada masa Sang Buddha.
    n. Buddhavamsa, terdiri atas syair-syair yang menceritakan kehidupan dari dua puluh lima Buddha, dan Buddha Gotama adalah yang paling akhir.
    o. Cariyāpitaka, berisi cerita-cerita mengenai kehidupan-kehidupan Sang Buddha yang terdahulu dalam bentuk syair, terutama menerangkan tentang 10 pāramī yang dijalankan oleh Beliau sebelum mencapai Penerangan Sempurna, dan tiap-tiap cerita disebut Cariyā.
    ABHIDHAMMA PITAKA
    Kitab Abhidhamma Pitaka berisi uraian filsafat Buddha Dhamma yang disusun secara analitis dan mencakup berbagai bidang, seperti : ilmu jiwa, logika, etika dan metafisika. Kitab ini terdiri atas tujuh buah buku (pakarana), yaitu: 
    1. Dhammasangani, terutama menguraikan etika dilihat dari sudut pandangan ilmu jiwa.
    2. Vibhanga, menguraikan apa yang terdapat dalam buku Dhammasangani dengan metode yang berbeda. Buku ini terbagi menjadi delapan bab (vibhanga), dan masing-masing bab mempunyai tiga bagian : Suttantabhājaniya, Abhidhannabhājaniya dan Pññâpucchaka atau daftar pertanyaan-pertanyaan.
    3. Dhātukatha, terutama membicarakan mengenai unsur-unsur batin. Buku ini terbagi menjadi empat belas bagian.
    4. Puggalapaññatti, menguraikan mengenai jenis-jenis watak manusia (puggala), yang dikelompokkan menurut urutan bernomor, dari kelompok satu sampai dengan sepuluh, sepserti sistim dalan Kitab Anguttara Nikāya. 
    5. Kathāvatthu, terdiri atas dua puluh tiga bab yang merupakan kumpulan percakapan-percakapan (kathā) dan sanggahan terhadap pandangan-pandangan salah yang dikemukakan oleh berbagai sekte tentang hal-hal yang berhubungan dengan theologi dan metafisika. 
    6. Yamaka, terbagi menjadi sepuluh bab (yang disebut Yamaka) : Mûla, Khandha, Āyatana, Dhātu, Sacca, Sankhārā, Anusaya, Citta, Dhamma dan Indriya. 
    7. Patthana, menerangkan mengenai "sebab-sebab" yang berkenaan dengan dua puluh empat Paccaya (hubungan-hubungan antara batin dan jasmani).