Hidup Bahagia Sesuai Dhamma
Dhammaṁ
care sucaritaṁ
Na taṁ
duccaritaṁ care
Dhammacārī
sukhaṁ seti
Asmiṁ loke
paramhi ca.
“Hiduplah
sesuai dengan Dhamma, tidak mengikuti cara hidup yang salah. Seseorang yang
mengikuti Ajaran Dhamma secara benar akan hidup berbahagia dalam kehidupan ini
dan kehidupan yang akan datang.” (Dhammapada, Loka Vagga, Syair
169)
Setiap
orang pasti mendambakan kebahagiaan karena kebahagiaan adalah hak dan tujuan
hidup setiap orang. Meskipun gagasan, penilaian dan pencapaian kebahagiaan itu
berbeda bagi setiap orang, baik dia anak
kecil, remaja, orang dewasa sampai tua sekalipun. Misalnya, anak kecil bahagia
ketika memperoleh mainan yang baru; seorang remaja bahagia jika mempunyai
seorang kekasih, sukses dalam mendapat prestasi di sekolahnya dan memiliki
banyak teman. Orang dewasa merasa bahagia jika ia berhasil dalam kariernya,
apakah sebagai petani, pedagang, guru, dokter maupun pengusaha; dan orang tua
akan merasa bahagia jika melihat anak dan cucunya sukses dan bahagia. Oleh
karena itu, akan ada banyak hal yang dilakukan oleh seseorang untuk meraih kebahagiaan tersebut dan tentunya akan
berbeda pula jalan yang dilakukan.
Secara
umum, kebahagiaan sering diartikan sebagai tercapainya apa yang diinginkan atau
yang dicita-citakan. Kebahagiaan juga sering diartikan sebagai terpenuhinya kebutuhan
materi seperti sandang, pangan, papan dan obat-obatan, serta terpenuhinya kebutuhan
akan pendidikan dan hiburan. Namun,
kebahagiaan yang sesungguhnya tidak hanya terbatas dalam hal tercapainya
kebutuhan materi saja, melainkan perlunya untuk mengembangkan kebutuhan batin
dengan kekayaan mental karena dalam meraih kebahagiaan tersebut tidak terlepas
dari kesulitan-kesulitan dan rintangan-rintangan. Maka perlu adanya kesabaran
dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dan melatih diri untuk tidak melekat pada
apa yang diinginkan.
Dalam Saṃyutta Nikāya V. 51, yaitu Iddhipādasaṃyutta dijelaskan bahwa ada
empat landasan kekuatan batin (Iddhipāda) yang dapat digunakan untuk mencapai
kekuatan spiritual. Empat landasan kekuatan batin tersebut terdiri dari chanda (keinginan/kemauan), virya (usaha, semangat), citta (pikiran), vimaṃsā (penyelidikan). Jika keempat hal tersebut dilakukan dengan
sempurna maka akan membawa seseorang pada tujuan akhir yang berada dalam
kemampuannya.
1.
Chanda
Chanda (keinginan) yang dimaksud bukanlah keinginan seperti lobha yang melibatkan keserakahan.
Namun, chanda merupakan keinginan
untuk berbuat atau keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang terjadi pada
makhluk hidup pada umumnya. Keinginan untuk bepergian, untuk makan, untuk mengetahui,
untuk mengerti, semua itu termasuk chanda (Janakābhivaṃsa, 2005:139).
Keinginan untuk berbuat baik seperti, keinginan untuk berdana, menjalan sila
dan meditasi juga merupakan Chanda.
Chanda juga diartikan sebagai kegembiraan dan kepuasan di
dalam mengerjakan hal-hal yang sedang dikerjakan. Chanda merupakan kondisi awal yang perlu dimunculkan dalam upaya
meraih kebahagiaan baik kebahagiaan lahir maupun batin. Misalnya, seorang
pelajar yang ingin meraih prestasi. Ia tentunya terlebih dahulu memunculkan
keinginannya untuk belajar. Ia juga harus gembira dan merasa puas ketika
belajar. Hal tersebut dapat membangkitkan semangat dan konsentrasi dan
merupakan kunci keberhasilan yang pertama. Selain itu, dengan adanya
kegembiraan dan kepuasan seseorang tidak akan merasa kecewa, walaupun apa yang
diperoleh tidak sesuai dengan harapan karena ia sudah berbuat semaksimal
mungkin. Namun, kecenderungan dari seseorang adalah merasa gembira dan puas
kalau sudah berhasil. Hal tersebut yang mengakibatkan munculnya kekecewaan atau
penderitaan.
2.
Viriya
Setelah adanya keinginan untuk mengerjakan
sesuatu tentunya juga seseorang harus berusaha
dengan penuh semangat untuk merealisasikan tujuannya. Seseorang yang
bersemangat tentunya akan memperoleh kesuksesan dan kesejahteraan baik yang
bersifat duniawi maupun kesuksesan spiritual. Dalam hal kesuksesan spiritual contoh yang paling baik adalah guru
agung kita Buddha Gotama. Beliau berjuang dengan penuh semangat
sejak menjadi calon Buddha (bodhisatta) sampai
Beliau wafat (parinibbāna). Setelah
menjadi Buddha, viriya/semangat
Beliau
tidak pernah padam, Beliau mengajar selama 45 tahun dengan hanya melewatkan
waktu untuk tidur selama 1-2 jam perharinya. Beliau pernah bersabda: “Vāyamethewa puriso; na nibbindeyya paṇḍito.”
(Manusia sejati harus selalu tekun; manusia bijaksana tidak pernah malas) (Janakābhivaṃsa,
2005:136).
Orang bijaksana memuji ketekunan
Dalam melakukan perbuatan-perbuatan yang bermanfaat;
Karena orang yang bijaksana dan tekun
Akan memperoleh manfaat ganda:
Kesejahteraan di sini dan kini
Serta kesejahteraan dalam kehidupan yang akan datang.
Dan karena telah mewujudkan kebajikan,
Orang bijaksana itu disebut guru.
Dalam melakukan perbuatan-perbuatan yang bermanfaat;
Karena orang yang bijaksana dan tekun
Akan memperoleh manfaat ganda:
Kesejahteraan di sini dan kini
Serta kesejahteraan dalam kehidupan yang akan datang.
Dan karena telah mewujudkan kebajikan,
Orang bijaksana itu disebut guru.
(Itivuttaka
I, 23)
Ada
empat usaha atau daya upaya yang harus dilakukan dengan penuh semangat dan
ketekunan untuk memperoleh kebahagiaan. 1) Usaha untuk menghindari hal-hal yang
buruk yang belum muncul. 2) Melenyapkan hal-hal buruk yang sudah muncul. 3)
Usaha untuk memunculkan hal-hal baik yang belum muncul. 4) Mengembangkan
hal-hal baik yang sudah muncul.
3. Citta
Citta berarti pikiran
yang memperhatikan dengan sepenuh hati terhadap hal-hal yang sedang dikerjakan
tanpa membiarkannya pergi begitu saja. Citta dapat diartikan pula sebagai
pikiran yang penuh dengan kewaspadaan. Mengembangkan kewaspadaan akan membuat
kita jauh dari kelengahan dan kecerobohan dan sesuatu yang diperjuangkan akan
dapat direalisasikan. Citta juga
perlu diimbangi dengan viriya atau
semangat dan sebaliknya karena untuk mempercepat dan memaksimalkan hasil yang
diharapkan. Sebagai contoh adalah siswa Sang Buddha, yakni Y.M. Moggalana dan Y.M.
Ananda. Y.M. Moggalana ketika bermeditasi memiliki citta yang terlalu kuat sedangkan Viriya-Nya lemah sehingga menyebabkan Beliau mengantuk. Namun,
setelah mendapat arahan dari Sang Buddha, Beliau mencapai arahat. Sebaliknya,
Y.M. Ananda terlalu bersemangat dan bermeditasi seharian tanpa beristirahat.
Selain itu, Beliau memikirkan tentang akan diadakannya konsili pertama dan
Beliau harus mencapai Arahat. Kegelisahannya itu mengakibatkan konsentrasi-Nya
melemah dan Beliau memutuskan untuk beristirahat sambil berlatih kembali dengan
penuh perhatian. Ketika itu pula sebelum kepala menyentuh bantal dan kakinya
belum meninggalkan lantai, Beliau mencapai Arahat. Beliau pun dapat menghadiri
konsili tersebut dan mengulang Dhamma.
4. Vimaṃsa
Kondisi
yang terakhir dari Iddhipāda adalah vimaṃsā
atau penyelidikan yakni merenungkan dan menyelidiki alasan-alasan di dalam
hal-hal yang sedang dikerjakan. Vimaṃsā
dapat diartikan pula sebagai evaluasi dari apa yang sudah dilakukan, apakah
baik atau buruk. Seseorang yang melakukan evaluasi akan menemukan alasan-alasan
atau faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan dan keberhasilan. Kegiatan dari
evaluasi ini dapat kita ibaratkan, seperti seorang guru yang mengevaluasi
murid-muridnya melalui ulangan. Dari hasil ulangan tersebut dapat dilihat bahwa
guru tersebut apakah berhasil atau gagal dalam proses pembelajaran. Faktor
keberhasilan dan kegagalan apakah berasal dari gurunya yang mungkin dari metode
pembelajarannya atau muridnya yang rajin atau yang kurang memperhatikan. Oleh
karena itu, seorang guru yang mampu melakukan penyelidikan, tentunya akan
menemukan faktor-faktor yang menyebabkan keberhasilan atau kegagalan. Maka ia
akan mengembangkan faktor-faktor yang baik dan meninggalkan yang buruk.
Kesimpulan
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa seseorang menginginkan kesejahteraan dan kebahagiaan
baik sekarang maupun yang akan datang, harus dengan cara yang benar sesuai
Dhamma: dengan memunculkan keinginan yang baik (chanda), mengembangkan usaha
yang disertai semangat untuk meninggalkan hal-hal yang bersifat negatif dan
mengembangkan hal-hal yang positif baik melalui tindakan, ucapan maupun pikiran.
Kondisi yang juga perlu dikembangkan adalah citta
(perhatian) terhadap apa yang dilakukan serta kita perlu melakukan penyelidikan
dan evaluasi (vimaṃsā) sehingga kita
dapat mengetahui apa yang perlu dikurangi dan kita tinggalkan dan apa yang
perlu dilakukan dan kita kembangkan dan hal ini tentunya akan menambah
kebijaksanaan kita sehingga hidup kita sukses dan bahagia secara lahir maupun
batin.
Referensi
Bodhi. Saṁyutta Nikāya.
Jakarta Barat: DhammaCitta Press. 2010.
Janakābhivaṁsa,
Ashin. Abhidhamma in Daily Life.
Terj. Ashin Jinorasa. Tanpa kota: Yayasan Penerbit Karaniya. 2005.
Jotidhammo (Ed).
Itivuttaka. Bandung: Lembaga
Anagarini Indonesia. 1998.
Paññāvaro, Sri. Bahagia dalam Dhamma 3. Makassar:
Keluarga Buddhis Brahmavihāra (KBBV) Makassar. 2007.
Vajirananavarosasa,
Prince. Dhamma Vibhāga. Yogyakarta:
Vidyasena Vihara Vidyaloka. 2002.
Yayasan
Dhammadīpa Āramā. Dhammapada.
Jakarta. 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar