Bahagia Tanpa Keserakahan

Bahagia Tanpa Keserakahan

Susukhaṁ vata jīvāma
Ussukesu anussukā
Ussukesu manussesu
Viharāma anussukā.

Sungguh bahagia kita hidup terbebas dari keserakahan,
di antara orang-orang yang serakah.
Di antara manusia yang serakah
kita hidup tanpa keserakahan.
(Dhammapada, Sukha Vagga, syair 199)

Setiap orang pasti membutuhkan pakaian, makanan, tempat tinggal dan obat-obatan agar dapat bertahan hidup sehingga dapat menjalankan aktivitas dengan baik. Seseorang harus makan makanan yang sesuai untuk menjaga kondisi tubuhnya agar tetap sehat, memakai pakaian yang sesuai untuk menahan dingin dan panas yang berlebihan, mendirikan rumah untuk melindungi diri dari angin, hujan dan cuaca yang buruk, dan meminum obat yang sesuai ketika sakit. Selain itu, sebagai manusia biasa pasti memiliki keinginan untuk memiliki sesuatu, seperti kekayaan, kedudukan dan sebagainya. Ini merupakan keinginan yang wajar. Namun, kebanyakan orang tidak menyadari bahwa di dalam dirinya masih diliputi oleh kekotoran-kekotoran batin, salah satunya adalah keserakahan. Kekotoran batin inilah yang merupakan keinginan yang tidak wajar karena seseorang dapat melakukan tindakan buruk untuk mencapai keinginannya sehingga dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.

Secara umum, keserakahan sering disebut sebagai ketamakan atau memiliki keinginan yang berlebihan dan tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki. Dalam agama Buddha, keserakahan dikenal dengan istilah lobha yang secara psychology berarti terikatnya pikiran oleh objek-objek. Objek-objek yang dimaksud adalah objek-objek yang menyenangkan karena adanya kontak dari mata, telinga, hidung, lidah, badan dan pikiran. Seseorang yang memiliki keserakahan (lobha) terhadap kesenangan-kesenangan indra, harta, kedudukan dan sebagainya. Misalnya, seseorang yang sudah memiliki kekayaan, namun masih mempunyai keinginan untuk merebut harta orang lain karena tidak adanya kepuasan pada kepemilikan diri sendiri. Ia akan melakukan apapun untuk mencapai keinginannya termasuk melakukan tindakan yang tidak baik seperti mencuri, merampok dan korupsi yang merupakan peristiwa yang sering kita lihat dan kita dengar melalui media massa. Ketika keinginan tidak tercapai bagi orang yang memiliki keserakahan dan kemelekatan maka yang akan timbul adalah kesedihan dan kekecewaan. Namun, jika keinginannya tercapai, ia akan dirundung kekhawatiran akan kehilangan. Berbeda halnya dengan keinginan atau kemauan yang baik dan tulus seperti keinginan untuk berdana, belajar Dhamma, menjalankan sila dan meditasi merupakan faktor mental yang baik yang dilakukan demi kebaikan itu sendiri.  Kebaikan-kebaikan yang akan membawa pada kebahagiaan sejati.

Memang kita ketahui bahwa, keserakahan adalah kekotoran batin yang sulit dilenyapkan secara total. Namun, bagi seseorang yang belum mencapai kesucian dapat menekan kemunculannya atau mencegahnya untuk berkembang jika keserakahan (lobha) itu sudah muncul. Maka, yang perlu dilakukan adalah menggunakan sati (perhatian, kewaspadaan, kesadaran), berusaha untuk tidak selalu menuruti keinginan, merenungkan untung dan rugi dengan menggunakan pañña (kebijaksanaan), membangkitkan hiri (malu berbuat jahat) dan ottapa (takut akan akibat dari perbuatan jahat), mengembangkan Dhamma yang berlawanan dengan lobha, seperti berdana (AjitamanavasaSolasa panha).

1.      Menggunakan sati

Lobha atau keserakahan tidak akan muncul jika tidak adanya kondisi yang sesuai dan pada seseorang yang memiliki sati (perhatian yang murni, kewaspadaan, kesadaran). Oleh karena itu, seseorang hendaknya memilki perhatian, kewaspadaan, kesadaran terhadap apa yang dilihat, didengar, dicium (bau), dikecap, disentuh dan yang dipikirkan. Sati yang dimaksud di sini juga merupakan perhatian yang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat positif, seperti mendengarkan Dhamma dengan penuh perhatian agar bisa mengingatnya dan pada saat bermeditasi seseorang  berkosentrasi secara mendalam supaya tidak kehilangan objek meditasinya. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah munculnya tindakan buruk sebagai akibat dari pikiran yang tidak baik, salah satunya adalah pikiran yang disertai dengan keserakahan.

2.      Berusaha untuk tidak selalu menuruti keinginan

Berusaha untuk tidak selalu menuruti keinginan adalah berusaha untuk merasa puas (santuṭṭhī) dengan apa yang dimiliki, hidup sederhana dan berkecukupan tanpa harus memiliki banyak keinginan. Keinginan yang selalu dituruti sebagai sifat dari keserakahan adalah ibarat kita haus dan meminum air garam, maka rasa haus itu tidak akan pernah hilang. Kita dapat merasakan kepuasan dan kebahagiaan dengan membatasi keinginan-keinginan kita. Perasaan puas dan bahagia ini akan mengkondisikan pikiran menjadi damai dan tenang. Namun, bila kita serakah dan selalu ingin lebih akan mengakibatkan pikiran menjadi kacau dan tidak sehat. Tidak lagi mengenal kedamaian. Oleh karena itu, Sang Buddha mengajarkan kepada para bhikkhu untuk menjalankan kehidupan dengan disiplin dari yang mereka dapatkan sebagai dana.

3.      Merenungkan untung dan rugi dengan menggunakan pañña

Sebagai manusia biasa kita tentunya masih mempunyai keinginan. Namun, kita dapat mengoreksi keinginan tersebut. Apakah merupakan keinginan yang wajar, bermanfaat dan cara yang akan digunakan untuk mencapai keinginan itu adalah cara yang baik sehingga tidak merugikan baik diri sendiri maupun orang lain  ataukah sebaliknya. Keinginan menjadi kaya misalnya, di mana Sang Buddha menyatakan keinginan tersebut sebagai salah satu keinginan yang wajar dari manusia, yakni dalam Aṅguttara Nikāya II 65. Maka, bagi orang yang bijaksana akan mengetahui apa yang baik dilakukan dan apa yang tidak baik untuk dilakukan. Ia akan melakukan usaha yang benar, bermata pencaharian yang benar untuk mencapai keinginannya. Namun sebaliknya, bagi orang yang tidak memiliki kebijaksanaan dalam mencapai sesuatu. Ia hanya akan membahayakan dirinya sendiri dan orang lain, seperti syair Dhammapada berikut: Kekayaan dapat menghancurkan orang bodoh, tetapi tidak dapat menggoda ia yang ingin mencapai pantai seberang (Nibbana). Keserakahan pada kekayaan dapat menghancurkan diri sendiri dan orang lain (Taṇhā Vagga, 355).

4.      Membangkitkan hiri  dan ottapa

Hal lain yang juga dapat menekan kemunculan lobha adalah membangkitkan hiri dan ottapa yang sering kita kenal dengan pelindung dunia. Seseorang yang memiliki perasaan malu untuk melakukan perbuatan buruk, maka ia akan menjalankan sīla dengan baik dengan menghindari tindakan-tindakan buruk, seperti mempraktikkan Pancasīla Buddhis. Seseorang yang memiliki hirī adalah orang yang menghargai martabat dan kehormatannya. Perasaan takut akan akibat dari perbuatan buruk merupakan wujud dari keyakinan akan hukum kamma bahwa segala bentuk tindakan baik melalui pikiran, ucapan maupun perbuatan yang didasari oleh pikiran yang tidak baik akan mangakibatkan penderitaan. Demikian pula dengan segala bentuk tindakan, baik melalui pikiran, ucapan maupun perbuatan yang didasari oleh keserakahan akan membawa pada penderitaan baik pada saat sekarang maupun yang akan datang. Misalnya, seseorang yang melakukan tindakan buruk karena keserakahannya, sebagai akibatnya, ia tidak akan dihormati orang, ia bisa masuk penjara dan bahkan pada kehidupan selanjutnya ia akan terlahir di alam rendah.

5.      Mengembangkan Dhamma yang berlawanan dengan lobha

Praktik kebajikan seperti berdana merupakan lawan dari lobha yang dapat menekan kemunculan dan berkembangnya lobha tersebut. Membiasakan diri untuk berdana merupakan latihan untuk melepas apa yang kita miliki, untuk mengurangi kemelekatan yang membelenggu batin, untuk meringankan penderitaan orang lain. Berdana juga akan lebih bermanfaat jika ditujukan kepada orang yang tepat, orang yang membutuhkan dan diberikan pada waktu yang tepat, serta diberikan dengan ketulusan dan rasa hormat. Berdana dapat dilakukan dalam bentuk materi, tenaga, nasihat-nasihat, motivasi, pengetahuan, ide-ide atau gagasan-gagasan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi keegoan kita dan mengembangkan kepedulian kita terhadap orang lain serta untuk mengikis sifat keserakahan.

Kesimpulan

Keserakahan merupakan kekotoran batin yang menjadi sumber penderitaan. Keserakahan (lobha) merupakan kemelekatan yang sangat terhadap sesuatu sehingga membuat pikiran selalu merasa lapar, serakah dan tidak puas dengan apa yang telah dimiliki. Keserakahan muncul ketika bertemu dengan kondisi yang sesuai, yakni adanya kontak antara indra-indra dengan objek-objek yang menyenangkan. Keserakahan sulit dilenyapkan, namun dapat kita tekan kemunculannya dan perkembangannya serta kita dapat mengikisnya dengan satisantuṭṭhīpaññahiri dan ottapa serta berdana. Oleh karena itu, kita hendaknya mempraktikkan Dhamma dengan baik sehingga kita dapat melenyapkan keserakahan dan kebahagiaan sejati dapat kita capai.

Referensi
“Tiga Akar Kejahatan” http://indonesiaindonesia.com/f/34585-universal-intisari-agama-buddha/(29 Juni 2013)
Janakābhivaṁsa, Ashin. Abhidhamma in Daily Life. Terj. Ashin Jinorasa. Tanpa kota: Yayasan Penerbit Karaniya. 2005.
Sarada, Weragoda. Mahā Maṅgala Sutta (Berkah Utama). Jakarta: Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. 1997.
Yayasan Dhammadīpa Āramā. Dhammapada. Jakarta. 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar