Pentingnya Mawas Diri untuk Membentuk Pribadi yang Lebih
Baik
Attanā va kataṁ pāpaṁ
attanā saṅkilissati
attanā va akataṁ pāpaṁ
attanā va visujjhati
suddhi asuddhi paccattaṁ
nāñño aññaṁ visodhaye.
Artinya:
Oleh diri sendiri kejahatan
dilakukan,
oleh diri sendiri pula seseorang
ternoda.
Oleh diri sendiri kejahatan tak
dilakukan,
oleh diri sendiri pula seseorang
menjadi suci.
Suci atau tidak suci tergantung pada
diri sendiri, Tak seorang pun yang dapat menyucikan orang lain.
|
(Dhammapada, Atta Vagga, syair 165)
Manusia adalah makhluk sosial yang
tidak dapat melepaskan dirinya dari lingkungan masyarakat. Dalam hubungannya
dengan manusia sebagai makhluk sosial,
manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Namun, kita ketahui bahwa
manusia satu dengan manusia lainnya memiliki sifat dan kebiasaan yang berbeda
serta memiliki kelebihan dan kekurangan/kelemahan masing-masing. Hal tersebut
sering menyebabkan terjadi pertentangan karena masing-masing individu mempertahankan
egonya sendiri tanpa menyadari kelemahan dan kekurangan yang dimiliki. Dalam
hal ini menjadi suatu kebiasaan banyak orang adalah lebih suka menutupi
kesalahannya sendiri dan menceritakan keburukan orang lain, terutama orang yang
tidak disukai.
Kecenderungan
orang adalah mudah melihat kesalahan atau kekurangan orang lain, namun
sebaliknya sangat sulit untuk melihat kesalahan atau kekurangan dirinya sendiri,
seperti peribahasa gajah di pelupuk mata
tak tampak, semut di seberang lautan tampak. Kita cenderung menunjuk orang
lain sebagai penyebab atas kesalahan yang kita lakukan. Tetapi ada juga yang
perlu kita ingat dan renungi tentang filsafat jari telunjuk yakni ketika kita
menunjuk orang lain sebagai penyebab, maka satu jari yaitu jari telunjuk
menunjuk orang lain tersebut, sedangkan tiga jari lainnya (kelingking, jari
manis dan jari tengah) menunjuk ke arah diri kita sendiri. Oleh karena itu,
kita perlu mawas diri, mungkin saja kesalahan itu terjadi karena memang kita
yang membuat lebih banyak kesalahan dibandingkan dengan kontribusi dari orang
atau pihak lain sehingga kita introspeksi diri terhadap kesalahan-kesalahan
kita, sebelum mencari dan menunjuk pada kesalahan orang lain.
Mawas Diri
Mawas
diri diartikan melihat (memeriksa dan mengoreksi) diri sendiri secara jujur,
introspeksi, kita harus mawas
diri agar kita jangan membuat kesalahan yang sama (KBBI ed.2, Balai Pustaka 1993). Secara psikologi,
mawas diri diartikan sebagai introspeksi yang pada dasarnya merupakan pencarian tanggung
jawab ke hati nurani mengenai suatu perbuatan.
Mawas
diri merupakan sikap waspada atau berhati-hati dalam bertindak. Sikap mawas
diri juga bisa disebut sebagai pembatas atau pengontrol dalam kehidupan
sehingga kita tidak akan terjerumus jalan yang salah.
Dalam
upaya mawas diri kita melakukan koreksi atau pemeriksaan terhadap diri sendiri.
Berkenaan dengan hal tersebut terdapat salah satu sutta yang menjelaskan
tentang pemeriksaan terhadap diri sendiri yakni dalam Anguttara Nikaya (X, 51) yang berbunyi:
“…. sama seperti seorang wanita
atau pria, yang masih muda dan menyukai perhiasan, akan melihat wajah mereka di
cermin yang bersih dan cemerlang atau di mangkuk yang berisi air jernih. Jika
mereka kemudian melihat debu atau kotoran, mereka akan berusaha keras untuk
menyingkirkannya. Tetapi apabila tidak ada debu atau kotoran yang terlihat,
mereka akan merasa senang. Demikian pula ketika pemeriksaan diri sendiri sangat
membantu untuk pertumbuhan kualitas-kualitas yang bajik: "Apakah aku
sering iri hati, atau sering tidak iri hati? Apakah aku sering mempunyai niat
jahat di hatiku, atau sering bebas darinya? Apakah aku sering berkubang di
dalam kemalasan dan kelambanan, atau sering bebas darinya? Apakah emosiku
sering bergejolak, atau sering bebas darinya? Apakah aku sering berada di dalam
keraguan atau sering bebas darinya? Apakah aku sering marah, atau sering bebas
dari kemarahan?Apakah pikiranku sering terkotori dengan pemikiran-pemikiran
yang tak-bajik, atau sering bebas dari kekotoran batin? Apakah tubuhku sering gelisah,
atau sering bebas dari kegelisahan? Apakah aku sering malas, atau sering
bersemangat? Apakah aku sering tidak terkonsentrasi, atau sering
terkonsentrasi? "Bila dengan memeriksa dirinya seperti ini, seseorang
menyadari bahwa dia sering iri hati, penuh niat jahat, lamban, bergejolak,
ragu, marah, kotor secara mental, gelisah secara fisik, malas dan tidak
terkonsentrasi, maka dia harus mengerahkan segenap semangat dan energinya, daya
dan upayanya, serta kewaspadaan yang tak terputus dan pemahamannya yang jernih,
untuk meninggalkan semua kualitas yang jahat dan tak-bajik itu.”
Berdasarkan sutta tersebut sebagai implementasinya
dalam kehidupan sehari-hari kita dapat mengetahuinya melalui pengalaman kita
sendiri, apakah jalan pikiran yang baik atau buruk yang sering muncul? Misalnya
ketika orang lain memperoleh keberhasilan/kesuksesan, apakah kita iri hati
sehingga kita memiliki niat jahat untuk menyakiti atau sebaliknya, turut
berbahagia dan mengucapkan selamat atas keberhasilannya. Dengan
mengetahui jalan pikiran kita sendiri, kita dapat menekan dan mengikis pikiran
buruk agar tidak muncul dan mengembangkan pikiran baik yang sudah ada sehingga
ucapan dan perbuatan pun menjadi baik.
Memahami Hukum Kamma
Dalam
rangka mawas diri, kita sebagai umat Buddha meyakini adanya hukum kamma dan
akibatnya bahwa segala sesuatu yang kita lakukan yang didasarkan niat (cetana) maka akan menimbulkan akibat
baik atau buruk tergantung perbuatan yang telah kita lakukan. Demikian pula
akibat yang kita rasakan saat ini merupakan buah dari niat/kehendak kita
sebelumnya. Oleh karena itu, kita tidak perlu menyalahkan orang lain karena
kita yang berbuat maka kita yang menerima akibatnya sesuai dengan benih yang ditabur
begitu pula dengan buah yang akan dipetik. Hal ini didasarkan pada
bunyi Dhammapada, Yamaka Vagga, syair
1, sebagai berikut: Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin,
pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran
jahat, maka penderitaan akan mengikutinya, bagaikan roda pedati mengikuti langkah
kaki lembu yang menariknya. Demikian pula yang akan terjadi sebaliknya,
maka hendaknya seseorang memiliki pikiran, ucapan dan perbuatan yang baik dan
benar sehingga membuahkan kebahagiaan untuk diri sendiri dan orang lain.
Praktik Meditasi
Dalam
agama Buddha kita mengenal meditasi sebagai salah satu ajaran Sang Buddha yang
sangat penting dan tertinggi yang dapat membawa kita kepada tujuan tertinggi. Meditasi
merupakan salah satu cara untuk mawas diri karena dalam praktiknya kita
menyapa, melihat, memeriksa diri kita sendiri dengan menggunakan konsentrasi
dan perhatian kita, salah satu macam meditasi adalah Vipassana Bhavana.
Vipassana Bhavana adalah meditasi dengan mengamati fisik dan batin kita. Dalam
praktik meditasi vipassana kita berusaha untuk menyadari segala sesuatu yang
dilakukan seperti saat duduk, berjalan, berbaring maupun waktu makan serta
menyadari perasaan dan bentuk-bentuk pikiran yang muncul. Melalui praktik
tersebut kita akan mengetahui dan menyadari kecenderungan yang sering muncul,
apakah baik atau buruk? Jika kecenderungan yang baik sering muncul, maka kita
hendaknya menumbuhkan upaya dan semangat untuk mengembangkannya dan jika
sebaliknya, maka kita harus meninggalkannya.
Belajar dari Seekor Burung
Melalui
mawas diri, kita tentunya ingin menjadi pribadi yang lebih baik, selain belajar
dhamma, kita bisa belajar dari orang lain/makhluk lain yang dapat menginspirasi
kita untuk menjadi lebih baik, contohnya adalah kisah tentang seekor burung
yang pindah rumah. Ceritanya sebagai berikut: Seekor burung kecil sedang sibuk
untuk persiapan pindah rumahnya, lalu bertemu dengan tetangganya. Tetangganya
bertanya: “Kamu mau ke mana?” Burung kecil menjawab: “Saya mau pindah ke hutan
yang berada di sebelah timur.” Tetangga bertanya lagi: “Di sini kamu hidupnya
lumayan baik, mengapa mau pindah?” Burung kecil pun menjawab, “Tidakkah kamu
mengetahuinya, bahwa semua orang di sini tidak suka dengan suaraku, mereka
mengatakan bahwa suara saya sangat jelek, jadi saya harus pindah rumah.” Tetangganya
pun berkata: “Sebenarnya kamu tidak perlu pindah, tapi kamu hanya perlu mengubah
suara nyanyianmu. Jika kamu tidak bisa mengubah/memperbaiki suara saat bernyanyi,
maka walaupun kamu pindah ke hutan yang berada di sebelah timur atau sebelah
manapun. Mereka yang di sana tetap tidak akan suka padamu.” Burung kecil itu pun
menangis dan akhirnya menyadari kesalahannya.
Berdasarkan
cerita tersebut kita hendaknya tidak selalu menyalahkan lingkungan kita, maupun
mengkritik orang lain tidak cocok dengan kita, atau kita tidak cocok dengan
orang tertentu. Sekali waktu, kita perlu melihat ke dalam diri sendiri. Pepatah
bijak mengatakan: “Betapa bernilainya kesadaran diri”. Oleh karena itu, orang yang
tidak bisa introspeksi diri, ke mana pun orang tersebut pergi, dia akan
menemukan masalah yang sama, dan akhirnya dia akan kelelahan dan tidak tahu
harus pergi ke mana lagi.
Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapat kita ketahui bahwa
pentingnya mawas diri/introspeksi diri dalam kehidupan sehari-hari. Mawas diri menjadikan
kita untuk jujur dalam memeriksa diri kita sendiri, mengenai sifat dan
kebiasaan baik maupun buruk serta kelebihan dan kekurangan yang kita miliki
sehingga kita berupaya untuk memperbaiki diri dari hal yang buruk dan
mengembangkan diri dalam hal yang baik. Selain itu, kita memahami bahwa segala
sesuatu yang terjadi pada kita yakni kebahagiaan maupun penderitaan tergantung
dari niat/kehendak kita. Dengan demikian, kita tidak menyalahkan dan
menjelekkan orang lain. Oleh karena itu, kita melatih diri untuk senantiasa
hidup dengan kesadaran dan perhatian terhadap apa yang dilakukan dan dipikirkan
sehingga mengubah pola pikir dan kepribadian kita menjadi lebih baik.
Referensi
Tanpa
penulis. “Burung Kecil Pindah Rumah”. http://kumpulankisahteladan.wordpress.com/tag/belajar-introspeksi-dari-seekor-burung-kecil/.
(diakses pada tanggal 6 September 2014)
Kitab Suci Dhammapada. Terj. Phra Rājavarācāriya.
Singkawang Selatan: Bahussuta Society. 2013.
Bodhi,
Bhikkhu dan Nyanaponika Thera. Petikan Aṅguttara
Nikāya 3
(Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh: Dra. Wena Cintiawati dkk). Klaten: Vihāra
Bodhivaṁsa
dan Wisma Dhammaguna. 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar