Selasa, 24 Maret 2015

Belajar Cinta Dari Cicak

Belajar Cinta Dari Cicak


Belajar Cinta Dari Cicak
Ketika sedang merenovasi sebuah rumah, seseorang mencoba merontokan tembok. Rumah di Jepang biasanya memiliki ruang kosong di antara tembok yang terbuat dari kayu. Ketika tembok mulai rontok, dia menemukan seekor cicak terperangkap diantara ruang kosong itu karena kakinya melekat pada sebuah surat.
Dia merasa kasihan sekaligus penasaran. Lalu ketika dia mengecek surat itu, ternyata surat tersebut telah ada disitu 10 tahun lalu ketika rumah itu pertama kali dibangun.
Apa yang terjadi? Bagaimana cicak itu dapat bertahan dengan kondisi terperangkap selama 10 tahun? Dalam keadaan gelap selama 10 tahun, tanpa bergerak sedikit pun, itu adalah sesuatu yang mustahil dan tidak masuk akal.

Orang itu lalu berpikir, bagaimana cicak itu dapat bertahan hidup selama 10 tahun tanpa berpindah dari tempatnya sejak kakinya melekat pada surat itu! Bagaimana dia makan?
Orang itu lalu menghentikan pekerjaannya dan memperhatikan cicak itu. Apa yang dilakukan dan apa yang dimakannya hingga dapat bertahan. Kemudian, tidak tahu dari mana datangnya, seekor cicak lain muncul dengan makanan di mulutnya..aahhh!
Orang itu merasa terharu melihat hal itu. Ternyata ada seekor cicak lain yang selalu memperhatikan cicak yang terperangkap itu selama 10 tahun.
Sungguh ini sebuah cinta, cinta yang indah. Cinta dapat terjadi bahkan pada hewan yang kecil seperti dua ekor cicak itu. apa yang dapat dilakukan oleh cinta? Tentu saja sebuah keajaiban. Bayangkan, cicak itu tidak pernah menyerah dan tidak pernah berhenti memperhatikan pasangannya selama 10 tahun. Bayangkan bagaimana hewan yang kecil itu dapat memiliki karunia yang begitu menganggumkan.
JANGAN PERNAH MENGABAIKAN ORANG YANG ANDA KASIHI!

Filosofi Matematika

Filosofi Matematika


Filosofi Matematika
Pernah nggak Anda berpikir…
1. Mengapa PLUS di kali PLUS hasilnya PLUS?
2. Mengapa MINUS di kali PLUS atau sebaliknya
PLUS di kali MINUS hasilnya MINUS?
3. Mengapa MINUS di kali MINUS hasilnya PLUS?

Hikmahnya adalah:
(+) PLUS = BENAR
(
-) MINUS = SALAH

1. Mengatakan BENAR terhadap sesuatu hal yang BENAR adalah suatu tindakan yang BENAR.
Rumus matematikanya :
+ x + = +

2. Mengatakan BENAR terhadap sesuatu yang SALAH, atau sebaliknya mengatakan SALAH terhadap sesuatu yang BENAR adalah suatu tindakan yang SALAH.
Rumus matematikanya :
+ x =
x + =

3. Mengatakan SALAH terhadap sesuatu yang SALAH adalah suatu tindakan yang BENAR.
Rumus matematikanya :
x = +

Pelajaran matematika ternyata sarat makna, yang bisa kita ambil sebagai pelajaran hidup.

Jumat, 20 Maret 2015

BABY


 Baby






Pentingnya Mawas Diri untuk Membentuk Pribadi yang Lebih Baik


Pentingnya Mawas Diri untuk Membentuk Pribadi yang Lebih Baik


Attanā va kataṁ pāpaṁ
attanā saṅkilissati
attanā va akataṁ pāpaṁ
attanā va visujjhati
suddhi asuddhi paccattaṁ
nāñño aññaṁ visodhaye.

Artinya:

Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan,
oleh diri sendiri pula seseorang ternoda.
Oleh diri sendiri kejahatan tak dilakukan,
oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci.
Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri, Tak seorang pun yang dapat menyucikan orang lain.
(Dhammapada, Atta Vagga, syair 165)
          
         Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat melepaskan dirinya dari lingkungan masyarakat. Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk  sosial, manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Namun, kita ketahui bahwa manusia satu dengan manusia lainnya memiliki sifat dan kebiasaan yang berbeda serta memiliki kelebihan dan kekurangan/kelemahan masing-masing. Hal tersebut sering menyebabkan terjadi pertentangan karena masing-masing individu mempertahankan egonya sendiri tanpa menyadari kelemahan dan kekurangan yang dimiliki. Dalam hal ini menjadi suatu kebiasaan banyak orang adalah lebih suka menutupi kesalahannya sendiri dan menceritakan keburukan orang lain, terutama orang yang tidak disukai.

Kecenderungan orang adalah mudah melihat kesalahan atau kekurangan orang lain, namun sebaliknya sangat sulit untuk melihat kesalahan atau kekurangan dirinya sendiri, seperti peribahasa gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak. Kita cenderung menunjuk orang lain sebagai penyebab atas kesalahan yang kita lakukan. Tetapi ada juga yang perlu kita ingat dan renungi tentang filsafat jari telunjuk yakni ketika kita menunjuk orang lain sebagai penyebab, maka satu jari yaitu jari telunjuk menunjuk orang lain tersebut, sedangkan tiga jari lainnya (kelingking, jari manis dan jari tengah) menunjuk ke arah diri kita sendiri. Oleh karena itu, kita perlu mawas diri, mungkin saja kesalahan itu terjadi karena memang kita yang membuat lebih banyak kesalahan dibandingkan dengan kontribusi dari orang atau pihak lain sehingga kita introspeksi diri terhadap kesalahan-kesalahan kita, sebelum mencari dan menunjuk pada kesalahan orang lain.

Mawas Diri

Mawas diri diartikan melihat (memeriksa dan mengoreksi) diri sendiri secara jujur, introspeksi, kita harus mawas diri agar kita jangan membuat kesalahan yang sama (KBBI ed.2, Balai Pustaka 1993). Secara psikologi, mawas diri diartikan sebagai introspeksi yang pada dasarnya merupakan pencarian tanggung jawab ke hati nurani mengenai suatu perbuatan.Mawas diri merupakan sikap waspada atau berhati-hati dalam bertindak. Sikap mawas diri juga bisa disebut sebagai pembatas atau pengontrol dalam kehidupan sehingga kita tidak akan terjerumus jalan yang salah.

Dalam upaya mawas diri kita melakukan koreksi atau pemeriksaan terhadap diri sendiri. Berkenaan dengan hal tersebut terdapat salah satu sutta yang menjelaskan tentang pemeriksaan terhadap diri sendiri yakni dalam Anguttara Nikaya(X, 51) yang berbunyi:

“…. sama seperti seorang wanita atau pria, yang masih muda dan menyukai perhiasan, akan melihat wajah mereka di cermin yang bersih dan cemerlang atau di mangkuk yang berisi air jernih. Jika mereka kemudian melihat debu atau kotoran, mereka akan berusaha keras untuk menyingkirkannya. Tetapi apabila tidak ada debu atau kotoran yang terlihat, mereka akan merasa senang. Demikian pula ketika pemeriksaan diri sendiri sangat membantu untuk pertumbuhan kualitas-kualitas yang bajik: "Apakah aku sering iri hati, atau sering tidak iri hati? Apakah aku sering mempunyai niat jahat di hatiku, atau sering bebas darinya? Apakah aku sering berkubang di dalam kemalasan dan kelambanan, atau sering bebas darinya? Apakah emosiku sering bergejolak, atau sering bebas darinya? Apakah aku sering berada di dalam keraguan atau sering bebas darinya? Apakah aku sering marah, atau sering bebas dari kemarahan?Apakah pikiranku sering terkotori dengan pemikiran-pemikiran yang tak-bajik, atau sering bebas dari kekotoran batin? Apakah tubuhku sering gelisah, atau sering bebas dari kegelisahan? Apakah aku sering malas, atau sering bersemangat? Apakah aku sering tidak terkonsentrasi, atau sering terkonsentrasi? "Bila dengan memeriksa dirinya seperti ini, seseorang menyadari bahwa dia sering iri hati, penuh niat jahat, lamban, bergejolak, ragu, marah, kotor secara mental, gelisah secara fisik, malas dan tidak terkonsentrasi, maka dia harus mengerahkan segenap semangat dan energinya, daya dan upayanya, serta kewaspadaan yang tak terputus dan pemahamannya yang jernih, untuk meninggalkan semua kualitas yang jahat dan tak-bajik itu.”

Berdasarkan sutta tersebut sebagai implementasinya dalam kehidupan sehari-hari kita dapat mengetahuinya melalui pengalaman kita sendiri, apakah jalan pikiran yang baik atau buruk yang sering muncul? Misalnya ketika orang lain memperoleh keberhasilan/kesuksesan, apakah kita iri hati sehingga kita memiliki niat jahat untuk menyakiti atau sebaliknya, turut berbahagia dan mengucapkan selamat atas keberhasilannya. Dengan mengetahui jalan pikiran kita sendiri, kita dapat menekan dan mengikis pikiran buruk agar tidak muncul dan mengembangkan pikiran baik yang sudah ada sehingga ucapan dan perbuatan pun menjadi baik.

Memahami Hukum Kamma

Dalam rangka mawas diri, kita sebagai umat Buddha meyakini adanya hukum kamma dan akibatnya bahwa segala sesuatu yang kita lakukan yang didasarkan niat (cetana) maka akan menimbulkan akibat baik atau buruk tergantung perbuatan yang telah kita lakukan. Demikian pula akibat yang kita rasakan saat ini merupakan buah dari niat/kehendak kita sebelumnya. Oleh karena itu, kita tidak perlu menyalahkan orang lain karena kita yang berbuat maka kita yang menerima akibatnya sesuai dengan benih yang ditabur begitu pula dengan buah yang akan dipetik. Hal ini didasarkan pada bunyiDhammapada, Yamaka Vagga, syair 1, sebagai berikut:  Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya, bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya. Demikian pula yang akan terjadi sebaliknya, maka hendaknya seseorang memiliki pikiran, ucapan dan perbuatan yang baik dan benar sehingga membuahkan kebahagiaan untuk diri sendiri dan orang lain.

Praktik Meditasi

Dalam agama Buddha kita mengenal meditasi sebagai salah satu ajaran Sang Buddha yang sangat penting dan tertinggi yang dapat membawa kita kepada tujuan tertinggi. Meditasi merupakan salah satu cara untuk mawas diri karena dalam praktiknya kita menyapa, melihat, memeriksa diri kita sendiri dengan menggunakan konsentrasi dan perhatian kita, salah satu macam meditasi adalah Vipassana Bhavana. Vipassana Bhavana adalah meditasi dengan mengamati fisik dan batin kita. Dalam praktik meditasi vipassana kita berusaha untuk menyadari segala sesuatu yang dilakukan seperti saat duduk, berjalan, berbaring maupun waktu makan serta menyadari perasaan dan bentuk-bentuk pikiran yang muncul. Melalui praktik tersebut kita akan mengetahui dan menyadari kecenderungan yang sering muncul, apakah baik atau buruk? Jika kecenderungan yang baik sering muncul, maka kita hendaknya menumbuhkan upaya dan semangat untuk mengembangkannya dan jika sebaliknya, maka kita harus meninggalkannya.  

Belajar dari Seekor Burung

Melalui mawas diri, kita tentunya ingin menjadi pribadi yang lebih baik, selain belajar dhamma, kita bisa belajar dari orang lain/makhluk lain yang dapat menginspirasi kita untuk menjadi lebih baik, contohnya adalah kisah tentang seekor burung yang pindah rumah. Ceritanya sebagai berikut: Seekor burung kecil sedang sibuk untuk persiapan pindah rumahnya, lalu bertemu dengan tetangganya. Tetangganya bertanya: “Kamu mau ke mana?” Burung kecil menjawab: “Saya mau pindah ke hutan yang berada di sebelah timur.” Tetangga bertanya lagi: “Di sini kamu hidupnya lumayan baik, mengapa mau pindah?” Burung kecil pun menjawab, “Tidakkah kamu mengetahuinya, bahwa semua orang di sini tidak suka dengan suaraku, mereka mengatakan bahwa suara saya sangat jelek, jadi saya harus pindah rumah.” Tetangganya pun berkata: “Sebenarnya kamu tidak perlu pindah, tapi kamu hanya perlu mengubah suara nyanyianmu. Jika kamu tidak bisa mengubah/memperbaiki suara saat bernyanyi, maka walaupun kamu pindah ke hutan yang berada di sebelah timur atau sebelah manapun. Mereka yang di sana tetap tidak akan suka padamu.” Burung kecil itu pun menangis dan akhirnya menyadari kesalahannya.

Berdasarkan cerita tersebut kita hendaknya tidak selalu menyalahkan lingkungan kita, maupun mengkritik orang lain tidak cocok dengan kita, atau kita tidak cocok dengan orang tertentu. Sekali waktu, kita perlu melihat ke dalam diri sendiri. Pepatah bijak mengatakan: “Betapa bernilainya kesadaran diri”. Oleh karena itu, orang yang tidak bisa introspeksi diri, ke mana pun orang tersebut pergi, dia akan menemukan masalah yang sama, dan akhirnya dia akan kelelahan dan tidak tahu harus pergi ke mana lagi.

Kesimpulan

Dari uraian  di atas dapat kita ketahui bahwa pentingnya mawas diri/introspeksi diri dalam kehidupan sehari-hari. Mawas diri menjadikan kita untuk jujur dalam memeriksa diri kita sendiri, mengenai sifat dan kebiasaan baik maupun buruk serta kelebihan dan kekurangan yang kita miliki sehingga kita berupaya untuk memperbaiki diri dari hal yang buruk dan mengembangkan diri dalam hal yang baik. Selain itu, kita memahami bahwa segala sesuatu yang terjadi pada kita yakni kebahagiaan maupun penderitaan tergantung dari niat/kehendak kita. Dengan demikian, kita tidak menyalahkan dan menjelekkan orang lain. Oleh karena itu, kita melatih diri untuk senantiasa hidup dengan kesadaran dan perhatian terhadap apa yang dilakukan dan dipikirkan sehingga mengubah pola pikir dan kepribadian kita menjadi lebih baik.    

Referensi

Tanpa penulis. “Burung Kecil Pindah Rumah”. http://kumpulankisahteladan.wordpress.com/tag/belajar-introspeksi-dari-seekor-burung-kecil/. (diakses pada tanggal 6 September 2014)

Kitab Suci  Dhammapada. Terj. Phra Rājavarācāriya. Singkawang Selatan: Bahussuta Society. 2013.


Bodhi, Bhikkhu dan Nyanaponika Thera. Petikan Aguttara Nikāya 3 (Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh: Dra. Wena Cintiawati dkk). Klaten: Vihāra Bodhivasa dan Wisma Dhammaguna. 2003.

Membentuk Kepribadian Yang Baik


Membentuk Kepribadian Yang Baik

Attāna ce piya jaññā
Rakkheyya naṁ surakkhitaṁ
Tiṇṇaṁ aññataraṁ yāmaṁ
Paṭijaggeyya paṇḍito

Apabila seseorang mencintai dirinya sendiri, maka ia harus menjaga diri dengan sebaik-baiknya. Orang bijaksana seharusnya waspada, di dalam tiga periode dalam kehidupannya. (Dhp XII, 157)

Setiap orang adalah individu yang unik karena masing-masing memiliki perbedaan dengan individu lainnya, baik dari segi fisik maupun mentalnya. Perbedaan-perbedaan seperti bentuk mata, telinga, rambut dan sebagainya menjadi ciri khas yang membedakannya dengan individu yang lain, begitu pula dengan watak/karakter atau kepribadiannya. Watak atau kepribadian adalah salah satu unsur yang mempengaruhi kehidupan seseorang, baik secara pribadi maupun hubungan sosial dengan masyarakat. Kepribadian yang baik tentunya memberi pengaruh yang baik bagi diri sendiri dan lingkungan serta menentukan suatu keberhasilan, namun sebaliknya jika seseorang memiliki kepribadian yang buruk. Oleh karena itu, seseorang perlu memiliki kepribadian yang baik dengan membiasakan diri untuk melakukan hal yang baik/positif dan berupaya untuk mengikis dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk. 

Kepribadian atau dikenal dengan istilah personality berasal dari kata latin “persona” yang berarti topeng atau kedok, yaitu tutup muka yang sering dipakai oleh pemain-pemain panggung, yang maksudnya untuk menggambarkan perilaku, watak, atau pribadi seseorang (Haryanto, 2010). Kepribadian adalah keseluruhan pola tingkah laku seseorang yang tampak dalam bentuk tingkah laku yang tampak pada orang lain. Pembentukan kepribadian pada diri seseorang umumnya dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dari dalam diri dan dari luar diri. Faktor dari dalam diri biasanya dipengaruhi oleh kondisi fisik seperti keadaan gemuk, kurus, berbadan lemah dan sebagainya atau kondisi mental, misalnya intelegensi atau emosionalitas, bakat atau hambatan mental. Sedangkan pembentukan kepribadian yang dipengaruhi oleh faktor dari luar antara lain, yakni kondisi keluarga, masyarakat lingkungan sekitar, dan sifat budaya yang berlaku pada waktu itu serta kondisi alam sekitarnya.

Kepribadian dalam konsep ajaran Sang Buddha adalah membicarakan watak atau Carita. Menurut Sang Buddha bahwa watak manusia pada umumnya terbagi dalam 7 Jenis, yaitu watak yang sangat kuat ada enam jenis dan satu jenis watak campuran. Ketujuh jenis watak atau Carita adalah : Pertama,  Watak memiliki nafsu besar (Raga Carita) adalah mereka yang sensitif dengan nilai-nilai keindahan dan keharmonisan, mudah sekali terpengaruh oleh kecantikan wanita, ketampanan pria, keindahan musik, literatur dan lain-lainnya. Pada umumnya bagi orang yang memiliki watak  Raga Caritta ini adalah mengutamakan pemuasan nafsu indria, pemuasan terhadap keserakahan, mudah tertarik kepada sesuatu yang gemerlapan.  Kedua, Watak penuh dengan kebencian (Dosa Carita) adalah mereka yang mudah tersinggung (walaupun hanya terkena hasutan sekecil apapun), mereka mudah sekali tersinggung, bosan, jengkel, marah, cemburu, iri hati, membenci, dendam. Ketiga, Watak ketidaktahuan (Moha Carita) adalah mereka yang ditandai dengan kurangnya kekuatan kecerdasan. Ia harus diimbangi dengan usaha-usaha belajar serta berguru kepada orang yang mulia/bijak. Keempat, Watak penuh kekhawatiran (Vitakka Carita) adalah mereka yang sering mengalami kecemasan terhadap kesulitan-kesulitan yang mereka alami, mudah berubah prinsip, dan tidak memiliki pendirian yant tetap . Kelima, Watak mudah percaya (Saddha Caritta) adalah tanda dari kurangnya kecerdasan, mudah menerima informasi dan mudah percaya walaupun belum tentu kebenarannya. Keenam, Watak Pandai/pintar/Intelek (Buddhi Caritta) adalah tidak selalu memberikan keuntungan bagi dirinya, bahkan mungkin kelebihan dari mereka menjadi suatu kerugian bagi dirinya apabila tanpa suatu sikap batin yang pantas berdasarkan pada pengetahuan dan pikiran yang benar. Kecerdasan yang telah dimilikinya harus disertai dengan pikiran dan pengertian yang benar untuk menjadi seorang yang  bijak dan ketujuh, Watak campuran/kombinasi (Sabba Caritta) biasanya salah satu dari watak campuran tersebut ada sedikit yang menonjol, walaupun sebentar.

Sesuai dengan watak/carita yang dimiliki seseorang berkembang kepribadiannya menjadi dirinya sendiri dan membentuk kepribadian yang berbeda dengan yang lainnya. Namun demikian, bukan berarti kepribadian tersebut tidak dapat diubah menjadi kepribadian yang lebih baik. Oleh karena itu, dalam upaya memperjuangkan pengubahan kepribadian dalam diri seseorang, maka seseorang harus mampu mengenali diri pribadinya terlebih dahulu dengan benar. Dalam Aguttara Nikāya (X, 51) bahwa pemeriksaan diri sendiri dapat disamakan seperti:

“seorang wanita atau pria, yang masih muda dan menyukai perhiasan, akan melihat wajah mereka di cermin yang bersih dan cemerlang atau di mangkuk yang berisi air jernih. Jika mereka kemudian melihat debu atau kotoran, mereka akan berusaha keras untuk menyingkirkannya. Tetapi apabila tidak ada debu atau kotoran yang terlihat, mereka akan merasa senang. Dan karena keinginan mereka terpenuhi, mereka akan berpikir, "Bagus sekali! Aku bersih!" Demikian pula, para bhikkhu, bagi seorang bhikkhu pemeriksaan diri sendiri sangat membantu untuk pertumbuhan kualitas-kualitas yang bajik: "Apakah aku sering iri hati, atau sering tidak iri hati? Apakah aku sering mempunyai niat jahat di hatiku, atau sering bebas darinya? Apakah aku sering berkubang di dalam kemalasan dan kelambanan, atau sering bebas darinya? Apakah emosiku sering bergejolak, atau sering bebas darinya? Apakah aku sering berada di dalam keraguan atau sering bebas darinya? Apakah aku sering marah, atau sering bebas dari kemarahan? Apakah pikiranku sering terkotori dengan pemikiran-pemikiran yang tak-bajik, atau sering bebas dari kekotoran batin? Apakah tubuhku sering gelisah, atau sering bebas dari kegelisahan? Apakah aku sering malas, atau sering bersemangat? Apakah aku sering tidak terkonsentrasi, atau sering terkonsentrasi?" Bila dengan memeriksa dirinya seperti ini, seorang bhikkhu menyadari bahwa dia sering iri hati, penuh niat jahat, lamban, bergejolak, ragu, marah, kotor secara mental, gelisah secara fisik, malas dan tidak terkonsentrasi, maka dia harus mengerahkan segenap semangat dan energinya, daya dan upayanya, serta kewaspadaan yang tak terputus dan pemahamannya yang jernih, untuk meninggalkan semua kualitas yang jahat dan tak-bajik itu.

Melalui pengolahan batin (pikiran) maka seseorang yang ingin mengubah wataknya, harus dapat mencari obyek yang sesuai agar perkembangan batin dapat meningkat. Bagi seseorang yang berwatak Raga Caritta dan berkeinginan merubah agar berhasil maka seseorang harus mencari obyek yang bertolak belakang dengan obyek yang menimbulkan hawa nafsu, misalnya mengambil obyek yang menjijikan (Mayat membusuk). Secara otomatis bahwa ketika kesadaran yang penuh dengan nafsu maka akan jatuh dan memberikan kesempatan kepada pikirannya untuk dapat terpusat dan hawa nafsu tidak berkembang. Pikiran akan menjadi tenang, penuh kesabaran dan lainnya. Kalau setiap saat dilakukan maka akan menjadi kebiasaan yang baik dan kepribadian yang semula penuh dengan nafsu-nafsu berubah menjadi kepribadian yang sabar, penuh ketenangan dan lainnya. Bagi mereka yang berwatak penuh dengan kebencian (Dosa Carita) maka obyek yang harus diambil adalah tentang warna merah, putih, biru, kuning dan Apamanna empat (Metta atau cinta kasih, Karuna atau belas kasihan, Mudita atau simpati  dan Upekkha atau keseimbangan batin). Bagi mereka yang memiliki watak kebodohan  (Moha Carita) dan mereka yang memiliki watak kekhawatiran (Vittaka Carita) maka obyek yang harus dipakai adalah pernafasan (Memperhatikan proses keluar dan masuknya nafas tanpa memberikan komentar).  Sedangkan bagi mereka yang memiliki watak mudah percaya (Saddha Carita) obyek yang harus diambil adalah perenungan kepada Buddha, Dhamma dan Sangha, Sila, Caga dan Dewata. Untuk mereka yang berwatak Buddhi Carita maka obyek yang harus diambil adalah : Perhatian kepada kematian (Maranasati), Perenungan terhadap ketenangan (Upasamanussati), Perenungan terhadap makanan (Aharepatikulasanna) dan analisa terhadap empat unsur yang membentuk tubuh (Catudhatuvavatthana). Sedangkan orang yang memiliki watak campuran atau kombinasi antara lain dapat mengambil obyek : Zat padat (Pathavi), Zat Cair (Apo), Zat panas (Tejo) dan Zat angin/gerak (Vayo), Ruang (Akasa) dan Sinar (Aloka).

Keberhasilan dalam bermeditasi untuk mengembangkan dirinya agar watak dapat berfungsi menjadi lebih baik, masih dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang berada di luar dirinya, seperti tempat, waktu, keluarga, posisi tubuh, rintangan-rintangan batin lainnya. Oleh karena itu, untuk menjadi pribadi yang baik, selain mengembangkan diri dengan melatih meditasi, seseorang juga perlu mulai berucap, bersikap dan bertingkah laku yang baik sebagai cerminan dari pikiran yang baik sehingga kebahagiaan dan kesejahteraan tercapai.

Referensi
Haryanto. 2010. “Pengertian Kepribadian (Personality)”  http://belajarpsikologi.com/pengertian-kepribadian/ .
suyantopuro.files.wordpress.com/2011/02/profesi-guru.doc‎


Yayasan Dhammadīpa Āramā. Dhammapada. Jakarta. 2005.